Kamis, 11 Agustus 2011

TNI Butuh Akses dalam Berantas Terorisme

Jakarta (ANTARA) - Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Mayjen TNI Ladoweijk Paulus, mengatakan TNI memerlukan akses dalam memberantas terorisme.
"TNI memiliki tujuh satuan antiteror. Namun sayangnya tidak ada akses ke arah sana," kata Paulus dalam seminar Penanggulangan Terorisme Guna Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Ketahanan Nasional di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta, Rabu.

Menurut dia, akses yang bisa membuat TNI masuk memberantas terorisme antara lain, jika secara hukum aksi teror tidak lagi bisa diatasi, polisi tak melaksanakan tugasnya , dan adanya keputusan politik.

Beberapa satuan antiteror itu adalah Peleton Tempur dari Kostrad, Datasemen Bravo 90 dari Paskhas TNI AU, dan Pasukan Gultor dari Kopassus.

Ia mengatakan, aksis teror di Indonesia terjadi fluktuatif, namun dari kajian Kopassus, dari tahun 2000 hingga 2008, intensitasnya terus menurun.

"Aksi radikal mungkin tinggal 40 persen," ujarnya.

Ia menilai TNI bisa berperan jika melihat kasus per kasus. Adanya bentuk aksi teror itu terdiri atas delapan tahap , yakni pengeboman, pembajakan, pembunuhan, penghadangan, penculikan, penyanderaan, perampokan, dan ancaman/intimidasi.

"TNI sudah sering turun dalam penumpas aksi pembajakan," ujarnya.

Ia mengatakan, keterlibatan TNI pemberantasan terorisme dibatasi dan harus mengacu pada UU No.2/2002 tentang Polisi, kemudian ditumpangi dengan UU No.15/2003 penanganan terorisme ternyata dalam UU tersebut keterlibatan pemberantasan terorisme dibatasi.

Padahal UU No.34/2004 tentang TNI pada pasal 7, TNI membantu Polri mengatasi terorisme tapi hal itu menjadi polemik dalam realisasinya.

Menurut dia, kalau masalah terorisme secara hukum tidak bisa diatasi, dan polisi dengan kemampuannya tidak melaksanakannya maka melalui keputusan politik itu TNI bisa mengatasi terorisme.

Menurut Danjen Kopassus, penanggulangan terorisme ada tiga institusi yaitu TNI AD, Polri dan Kemendagri, dimana ketiga institusi tersebut memiliki intelijen hingga sampai tingkat bawah. TNI AD perangkat kerja mulai dari kodam hingga tingkat kodim bahkan koramil.

Begitu juga Polisi mulai polda hingga polsek serta Kemendagri memiliki perangkat kerja koordinasi hingga ketingkat pedesaan.


"Hal ini dapat disinergikan sehingga tanpa dibentuk lagi," ucapnya.

Ia menambahkan untuk tidak salah tangkap dan salah tembak serta tidak melanggar HAM, maka perlu dilakukan tindakan preventif.


Relatif berhasil


Di tempat yang sama, Penasihat Senior Asia Program Jakarta, International Crisis Group, Sidney Jones, mengatakan Indonesia relatif berhasil menanggulangi terorisme tanpa ada peraturan represif seperti ISA di Malaysia atau Patriot Act di Amerika.

Sidney mengaku gembira Indonesia mampu membawa ke pengadilan terbuka terhadap orang-orang yang dianggap teroris. Bahkan di Amerika Serikat sekalipun, teroris diadili di pengadilan khusus dan tanpa kejelasan hukuman.

Hal itu bisa dilihat penjara Guantanamo yang menyiksa teroris tanpa penegakan hukum yang jelas.

"Melalui pengadilan terbuka, dugaan rekayasa intelijen bisa diminimalisasi," kata Sidney.

Sejak 2002, Sidney mencatat pemerintah Indonesia telah menangkap 500 teroris, sehingga melemahkan organisasi teroris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Antara (13) Anti Teror (20) Asia (27) Berita (48) Eropa (5) Feature (10) Indonesia (55) Industri Pertahanan (47) Intelijen (9) Kerja Sama (91) Konflik (42) Latihan Perang (48) Luar Negeri (43) Militer (101) Pameran Teknologi (30) PBB (44) Perang (4) Pertahanan (155) Polisi (5) Politik (62) Serah Terima Jabatan (1) Teknologi (91) Timur Tengah (6) TNI (105) TNI-AD (46) TNI-AL (140) TNI-AU (83) tnial (3) Today's Pic (7) US Army (2) War (2)
Diberdayakan oleh Blogger.
Defender Magazine